JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan Pancasila seharusnya diyakini dapat menjadi sarana penanaman nilai-nilai hidup bersama dalam keberagaman. Terpinggirnya pendidikan Pancasila saat ini menurut Aktivis Sekolah Tanpa Batas, Bambang Wisudo, tak bisa dilepaskan dari persoalan guru.
Bambang menilai, kemampuan guru pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan secara umum masih sangat terbatas. Hal itu ditandai dengan penguasaan pengetahuan umum, pengetahuan tentang subjek yang diajarkan, dan keterampilan mengajar yang rendah, membuat manuver guru di dalam kelas menjadi semakin terbatas.
"Di lain pihak, pemerintah dan birokrasi pendidikan terlalu melakukan banyak intervensi yang cenderung merampas otoritas guru," ujarnya.
Otoritas yang sempit itulah, kata dia, yang akhirnya memaksa para guru mengikuti secara kaku kurikulum resmi yang begitu padat. Pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan sangat miskin kreativitas dan inovasi, serta dijejali dengan materi hapalan.
Menurutnya, metode pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan saat ini terlalu konvensional, yakni menggunakan metode ceramah, menyalin dan mengerjakan soal-soal. Bahkan di banyak sekolah, para pengajar pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan buka guru yang sesuai dengan bidang studinya.
"Pembelajaran Pancasila yang kreatif dan mengasah daya kritis hanya bisa dilakukan oleh guru yang memiliki reportoar luas. Kontrol yang rendah akan rentan membuat pendidikan Pancasila disalahgunakan dan kehilangan daya transformatifnya," paparnya.
Persoalan lain menurut Bambang adalah tidak popularnya pilihan menjadi guru pendidikan Pancasila. Hal itu juga dipicu oleh lembaga pendidikan guru yang lebih banyak mempersiapkan calon guru menjadi operator dalam proses pembelajaran, bukan sebagai agen intelektual.
"Lembaga pendidikan guru belum bisa menarik lulusan terbaik dari sekolah menengah, dan menjadi guru adalah pilihan terakhir," katanya.
0 komentar: